Peran Hutan dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Bandung, 29 April 2024 – Menurut Khasnis dan Nettleman (2005), pemanasan global atau global warming adalah proses peningkatan suhu udara rata-rata, laut dan daratan bumi yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang terdiri dari gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), hidrokarbon Hydrofluoro carbon (HFC), perfluoro carbon (PFC) dan sulfur hexafluoride. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0,74 + 0,18°C selama 100 tahun terakhir. Penyebab pemanasan global yaitu kegiatan manusia yang berkaitan dengan gaya hidup, pola konsumsi, pertumbuhan penduduk dan beberapa aktkvitas manusia yang dapat merusak lingkungan diantaranya pembakaran bahan bakar fosil (fossil fuel) dan kegiatan alih fungsi lahan dan perkembangan industri. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menghasilkan GRK yang jumlahnya semakin banyak seiring bertambahnya waktu. Efek rumah kaca menyebabkan panas yang ada di bumi terperangkap di atmosfer dan tidak bisa diteruskan ke luar angkasa dan dipantulkan kembali ke permukaan bumi, sehingga menyebabkan bumi menjadi lebih panas.

Efek rumah kaca dalam jumlah tertentu berguna bagi kehidupan manusia, namun jika jumlahnya berlebih akan memberikan dampak negatif seperti pemanasan global dan perubahan iklim di bumi. Fenomena ini memungkinkan atmosfer menyerap sebagian energi matahari yang masuk dan mempertahankan suhu yang cukup untuk mendukung kehidupan seperti yang kita kenal. Namun, masalah timbul ketika jumlah gas-gas rumah kaca di atmosfer meningkat secara signifikan akibat aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi dan berbagai kegiatan industri. Akibatnya, konsentrasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer meningkat, meningkatkan kemampuan atmosfer untuk menjebak panas. Hal ini menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang dapat memiliki dampak yang merugikan bagi kehidupan di Bumi.

Pada 22 April 2016, Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris di New York, dan berkomitmen untuk melakukan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dan bergerak aktif mencegah terjadinya perubahan iklim. Komitmen Indonesia tersebut diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia yang pertama pada bulan November 2016. NDC dipergunakan sebagai salah satu acuan pelaksanaan komitmen mitigasi perubahan iklim dengan rencana penurunan emisi hingga tahun 2030 sebesar 29% sampai dengan 41% bila dengan dukungan internasional, dengan proporsi emisi di sektor pertanian (0,32%) melalui upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Upaya mitigasi emisi gas rumah kaca di tingkat nasional menjadi kunci dalam mencapai target penurunan emisi yang ditetapkan dalam NDC. Berbagai aksi mitigasi telah dilakukan oleh berbagai sektor, termasuk Kementerian dan Lembaga terkait, untuk memenuhi target penurunan emisi yang telah ditetapkan.

Salah satu aksi mitigasi yang dilakukan ada pada sektor kehutanan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan salah satu bentuk sumberdaya alam yang memiliki banyak fungsi sekaligus, yaitu sebagai sumber keanekaragaman jenis dan genetik, serta sebagai penyimpan karbon dan stabilator iklim dunia. Dalam ruang lingkup lokal, hutan berfungsi sebagai pemelihara kesuburan tanah, penjamin ketersediaan air bersih dan sumber penghidupan masyarakat yang ada di sekitar hutan tersebut. Dari seluruh hutan yang tersebar di dunia, Indonesia memiliki luas hutan sebesar kurang lebih 135 juta hektar.

Salah satu fungsi hutan adalah berkontribusi pada siklus karbon global. Pohon menyerap karbon dari atmosfer dalam pertumbuhannya. Jika kemampuan hutan menyerap karbon dapat dikuantifikasi, maka dapat menjadi instrumen manajemen dalam pertimbangan pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Manajement). Oleh karena itu metode pengukuran kandungan karbon yang sesuai dengan kaidah ilmiah sangat diperlukan. Dengan memahami jumlah karbon yang disimpan dalam hutan, kita dapat menilai kontribusi hutan dalam menjaga keseimbangan karbon di atmosfer dan menginformasikan keputusan manajemen yang lebih tepat untuk menjaga atau meningkatkan penyimpanan karbon tersebut.

 

Penulis: Sonia Dewi | Editor: Runik Machfiroh | Foto: Tim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Secret Link